Menerapkan Kembali Pemikiran Sukarno untuk Kedaulatan Pangan

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Juni terjadi impor beras sebanyak 49.539.110 Kg atau sekitar 49.539 ton. Nilai dari impor beras ini mencapai US$ 22,313 juta. Angka ini tentunya sangat besar dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Jika melihat volume impor beras pada bulan Mei 2015 sebesar 20.903.235 Kg atau 20.903 ton, yang nilainya US$ 9,623 juta. Pada tahun 2017 impor beras yang masuk sepanjang periode Januari Februari 2017 yakni sebesar 14.473 ton dengan nilai US$ 11,94 juta. Dalam rentan dua tahun telah terjadi penurunan eskalasi impor beras, dari tahun 2015 sekitar 49 ton menjadi 14 ton di tahun 2017.

Data diatas memang menunjukan angka yang sangat menggembirakan, dimana telah terjadi penurunan impor beras, sehingga secara tidak langsung pemrintahan Jokowi telah membuktikan program kedaulatan pangannya. Namun hal tersebut masih menjadi paradoks, dimana impor beras masih tergolong tinggi angkanya. Menjadi sebuah pertanyaan yang mengambang, apa sebenarnya penyebab dari ketidakberdayaan Indonesia yang notabene negeri agraris.

Persoalan Pertanian dari Masa ke Masa

Impor beras bukan hal yang baru. Pada era Sukarno Indonesia juga pernah memberlakuan impor beras, sebagaimana kutipan pidato Sukarno di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 27 april 1952 : “Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu.”

Jika melihat pada konteks sejarah pertanian kita, tentunya hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru lagi dalam dunia pertanian kita, dimana dari zaman pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga orde reformasi sudah ada yang namanya impor beras.

Sukarno kala itu sangat resah dengan kondisi negeri yang sudah mencapai titik pelik, seorang pemimpin tidak hanya cukup memiliki pemikiran yang cerdas saja tapi harus kritis dan solutif, beliau memiliki gagasan yang bagus tentang landreform (reformasi agraria) untuk melepaskan diri dari jeratan impor beras pada negara lain.

Gagasan Sukarno tentang reformasi agraria, yaitu menambah luas areal tanah pertanian dan intensifikasi sektor pertanian. Usaha Sukarno tidak sebatas hal tersebut, namun juga melakukan upaya lain dengan mendirikan pabrik pupuk Sriwijaya pada 1959, mengajak peran serta insinyur-insinyur pertanian, hingga mendirikan Institut Pertanian Bogor untuk menciptakan intelektual pertanian agar membantu Indonesia keluar dari permasalahan tersebut.

Pada tahun 1960 Indonesia mengalami krisis pangan hingga menyebabkan gejolak di dalam negeri, hingga memaksa Sukarno memutar otak, yang akhirnya beliau merumuskan kebijakan untuk memperbaiki sektor pertanian dan pangan, yang terkenal dengan deklarasi ekonomi (dekon). Dekon ini berisi pokok-pokok kebijakan yang prioritas utamanya adalah sektor pangan.

Dekon sendiri merupakan pokok-pokok kebijakan untuk sektor pangan, lebih lanjut dekon ini berfungsi sebagai instruksi yang diperuntukan untuk peningkatan produksi beras. Berikut bentuk instruksi kebijakan dekon: a) Mengekstensifkan pertanian dengan menambah areal dan transmigrasi; b) Mengintensifkan pertanian dengan mekanisasi dan memperbaiki cara-cara bercocok tanam; c) Mempergunakan Civic-missions Angkat Bersenjata; d) Menyempurnakan pelaksanaan Landreform  agar dapat diselesaikan pada waktunya sebagaimana ditetapkan oleh M.P.R.S; e) Menjamin supaya proyek-proyek yang berhubungan langsung dengan usaha mempertinggi produksi pangan (seperti proyek Jatiluhur dan proyek-proyek pabrik pupuk) selesai pada waktu yang direncanakan; f) Mengurangi sejauh mungkin impor bahan-bahan lux. (Berdikarionline, 1 april 2013).

Kebijakan serupa tapi tak sama juga pernah dilakukan oleh rezim orde baru Soeharto. Pada era Soeharto Indonesia mampu mencapai swasembada beras, namun itu hanya sebentar, selebihnya mengalami nasib serupa lagi. Karena program revolusi hijau pada era Soeharto memiliki tendensi ke arah mekanisasi sektor pertanian. Hasilnya sekarang kita bisa merasakan bagaimana petani sangat tergantung dengan korporasi pupuk dan obat-obatan pertanian, fertilisasi tanah yang kian mengancam sektor pertanian. Pada sisi lainnya juga bermunculan perusahaan-perusahaan besar yang tumbuh bak rumput liar, yang memaksa beralih fungsinya lahan pertanian yang ada.

Di sini juga bisa dilihat bagaimana Sukarno sangat menaruh harapan pada pendidikan yang berpihak pada rakyat, sangat terbalik dengan model pendidikan sekarang yang semakin ke arah liberal-kapitalistik, dimana sangat jarang dijumpai sarjana-sarjana baru yang berinovasi untuk kemajuan negerinya. Adapun peneliti-peneliti yang hebat malah dipinggirkan karena negara tidak mampu membiayai serta takut jika akan ditinggalkan pemodal-pemodal penghisap darah petani. Pemerintah sekarang seharusnya konsisten dengan apa yang dilakukan demi tercapainya swasembada pangan, bukan malah menghancurkan lahan pertanian dan ruang ekologis demi proyek kedaulatan ekonomi semu yang sangat korelasional dengan investasi global.

Menegakkan Kembali Prinsip-Prinsip Sosio-Demokrasi

Kasus-kasus agraria yang sekarang kian masif menghantui, merupakan bukti bahwa pemerintah tidak belajar dari basis materi persoalan, baik secara historis maupun kontekstual persoalan hari ini. Semakin meningkatnya eskalasi konflik agraria, perampasan ruang hidup merupakan bukti jika konsep dari kedaulatan agraria masih memiliki perspektif developmentalism.

Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah sekarang yang tak juah berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya, terkesan sangat tidak berpihak pada petani. Salah satu argumentasi pendukung ialah banyak kasus-kasus dimana rakyat terutama petani semakin tersisih dari alat produksinya sendiri. Sebagai contok perampasan lahan di Sukamulya, Lampung, Kulonprogo, Surokonto, Urutsewu, Blitar dan masih banyak yang lainnya. Konflik yang tercipta selalu melibatkan institusi pemerintah baik dari Perhutani, PTPN, Perkebunan Swasta hingga militer. Intitusi tersebut sering terlibat land-grabbing atas hak tanah. Kita bisa lihat sendiri bagaimana PTPN dan Perhutani memiliki luasan lahan besar jika dibandingkan dengan jumlah rakyat yang belum mempunyai tanah. Belum lagi persoalan semakin massifnya alih-fungsi lahan, baik hutan maupun tanah produktif. Kebijakan pemerintah yang menyebabkan alih fungsi lahan pertanian, juga menyebabkan deforestasi, merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam memahami reforma agraria dan kedaulatan atas pangan.

Bentuk ketidakberpihakan pemerintah pada petani selanjutnya dapat dilihat dari semakin meruginya petani di era sekarang. Menjerat para petani dengan ketergantungan pada korporasi pertanian, sehingga wajar jika harga pupuk mahal, pestisida mahal dan diperparah dengan banyaknya petani-petani kecil yang terjebak pada permainan lintah darat.

Belum lagi persoalan-persoalan hasil pertanian yang tidak terserap pasar dengan harga yang layak. Bulog yang seharusnya menjadi salah tonggak pengaturan harga pertanian malah tidak mampu berbuat apa-apa. Hal tersebut juga diperparah dengan ketidakberdayaan pemerintah melalui Kementerian Pertanian maupun Kementerian Perdagangan dalam mengatasi problem “tengkulak” yang masih menjadi faktor tidak sejahteranya petani.

Pemerintah dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan telah mencanangkan wacana “reformasi agraria”. Namun dalam pelaksanaannya hingga hari ini masih belum terlihat, kecuali program pembagian sertifikat kepada pemilik lahan. Hal tersebut tidak cukup signifikan dalam upaya pembenahan sektor agraris, yang mana ada hal-hal penting yang seharusnya dilakukan. Seperti mewujudkan reforma agraria sesuai dengan amanah UUPA (Pokok Agraria) 1960, mengacu pada pasal 1, 2 dan 13 yang mengatur bagaimana wewenang pemerintah dalam penguasaan lahan untuk kesejahteraan rakyat. Selain itu, pemeritah juga seharusnya mempelajari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 56/Prp/1961 tentang Pembatasan Tanah, dimana setiap orang tidak diperkenankan memiliki lahan tanah lebih dari lima hektare (untuk daerah padat). Semangat reforma agraria Sukarno telihat pada distribusi lahan, sesuai dengan harapan menyejahterahkan kaum marhaen. Sekaligus sebagai pengamalaman pancasila sila ke dua “kemanusiaan yang adil dan beradab” serta sila ke lima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang terangkum dalam prinsip-prinsip sosio-demokrasi.

Jika rezim joko widodo konsisten dengan wacana “trisakti” maka perlu adanya mempraktekan model pembangunan ekonomi “Dekon” Sukarno yang pro rakyat. Menerapkan kembali reforma agraia sejati, dimana rakyat mendapatkan lahan-lahan untuk menunjang pertanian. Selain itu pemerintah juga sudah seharusnya mengedepankan prinsip-prinsip ekologis, dimana pertanian tanpa daya dukung lingkungan hidup tidak akan berarti. Karena lingkungan hidup seperti hutan, gunung dan sungai merupakan satu kesatuan.

Hendaknya rezim Joko widodo melihat sejarah dan belajar dari apa yang dilakukan oleh Sukarno. Pada era Sukarno mampu membuat kerangka konseptual baru terkait gagasan, bagaimana caranya agar Indonesia terlepas dari impor beras, serta berdaulat di sektor pangan. Gagasan Sukarno yang utama ialah memaksimalkan lahan pertanian, mengoptimalkan daya sumber yang ada, dalam bentuk mengajak pemuda-pemuda serta rakyat untuk bekerja sama “gotong royong” untuk mewujudkan kesejahteraan.

Sebagaimana ajaran Sukarno tentang marhaenisme, bahwa kesejahteraan akan muncul, jika dilakukan bersama-sama, dibangun bersama-sama, tidak ada pertentangan klas, semua berjuang bersama, petani, kaum pekerja, rakyat miskin dan intelektual bersinergi “gotong-royong” demi mewujudkan keadilan serta kesejahteraan sosial bagi seluruh warga Indonesia.

Wahyu Eka Setyawan, Anggota Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI) Surabaya

[post-views]